A.
Riwayat Kehidupan Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya adalah
Abu Al Wahid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia lahir di kota
Cordova (Spanyol) pada tahun 1126 M/520 H,[1] sekitar 5 tahun wafatnya Al-Ghazali. Ia lebih
populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan nama
Averrois. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalusia dan ia sendiri pada tahun
565 H/ 1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena
prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan
menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[2]
Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang
mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti
kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari
Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Dengan realitas yang dialami sebagai qadhi, dokter,
dan didukung oleh berbagai penguasaan ilmu, seperti matematika, fisika,
astronomi, kedokteran, logika, dan filsafat, Ibnu Rusyd menjadi ulama dan
filsuf yang sulit ditandingi. Kehebatannya dapat dilihat dari berbagai karya
yang telah ditulis, meskipun di akhir hidupnya, Rusyd mendapat tuduhan besar
sehingga ia dibuang dari tanah kelahirannya.[3]
Ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat Cordova dan
dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya dibakar, kecuali
yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains),
seperti kedokteran, matematika, dan astronomi.
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama
(satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya
direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut
dan ia meninggal pada 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia
72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun
Hijrah.[4]
B.
Pemikiran
Ibnu Rusyd
1. Filsafat
dan Agama
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara agama (Islam)
dan falsafat tidak ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari berfikir
tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada ini. Ibnu Rusyd
mendasarkan argumennya dengan dalil Al-Qur’an
Firman Allah Qur’an surah Al-Hasyr : 2
“Hendaklah kamu mengambil Ittibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”
Firman Allah Qur’an surah Al-Araf : 185
“Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar) tentang kerajaan langit dan bumi
dan segala sesuatu yang di ciptakan Allah”
Menyuruh manusia berfikir tentang wujud atau alam yang tampak ini dalam
rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya Al-Qur’an menyuruh umat
manusia berfilsafat, atau mempelajari filsafat bukan dilarang atau diharamkan.[5]
2.
Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya
alam itu tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Bahkan sebaliknya, menurut
para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada justru tidak
mempunyai dasar dalam Al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Al-Qur’an
Firman Allah Qur’an surah Al-Fushsilat : 11
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap...”
Allah menciptakan langit dan bumi dalam beberapa periode, menghiasi bumi
dengan gunung-gunung dan makanan-makanan, kemudian Allah menuju kepada
penciptaan langit yang masih berupa asap (uap).
Firman Allah Qur’an surah Al-Anbiya : 30
“Dan Apakah orang-orang yang kafir
tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Dikatakan
bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian
dipecah menjadi dua benda yang berlainan.
Firman Allah Qur’an surah Huud : 7
“Dan dialah
yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahta-Nya (pada
waktu itu) berada di atas air, agar Dia menguji siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya.”
Kandungan
ayat itu bagi Ibnu Rusyd bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi,
telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta
kekuasaan tuhan. Pendeknya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air
dan tahta.
Dapat diambil kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada,
tetapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa
paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa pada pengertian bahwa alam
itu ada dengan sendirinya atau tidak
dijadikan oleh Tuhan. Bagi para filsuf muslim, alam itu dikatakan qadim,
justru karena alam itu diciptakan Tuhan, yakni diciptakan sejak qidam/azali.
Karena diciptakan-Nya sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula.
Bagaimanapun, Tuhan dan alam tidak sama karena Tuhan adalah qadim yang
mencipta, sedangkan alam adalah qadim yang dicipta.[6]
3.
Pengingkaran Kebangkitan Jasmani
Para Filosuf yang mengatakan bahwa di akhirat manusia
akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani adalah
kafir. Pendapat Al-Ghazali ini didasarkan pada banyaknya ayat Al-Qur’an yang
yang jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai
kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan jasmani di neraka. Ajaran
Al-Qur’an dalam hal ini tidak dapat ditakwilkan.
Dalam membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali itu, Ibnu
Rusyd menandaskan bahwa para filosuf tidak menolak kebangkitan, bahkan semua
agama samawi mengakui adanya kebangkitan ukhrawi. Hanya saja sebagian
berpendapat bahwa kebangkitan tersebut dalam bentuk ruhani dan sebagian lain
berpandangan kebangkitan itu dalam bentuk ruhani dan jasmani sekaligus.
Meskipun Ibnu Rusyd cenderung berpendapat bahwa
kebangkitan di akhirat nanti dalam bentuk ruhani saja--menurutnya kebahagiaan
yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa bukan jasmani, namun ia tidak menafikan
kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan
ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, dimana ruh-ruh akan menyatu dengan
jasadnya sebagaimana keadaannya di dunia, tetapi jasad tersebut bukanlah jasad
yang ada di dunia, sebab jasad duniawi telah hancur dan lenyap sehingga
mustahil untuk kembali.
Namun sebenarnya, kata Ibnu Rusyd, Al-Ghazali pada
akhirnya mengakui bahwa kebangkitan ukhrawi hanya bersifat ruhani saja.
Pengakuan ini ia sampaikan dalam bukunya yang bertopik kesufian. Dengan
demikian batallah tuduhan pengkafiran kaum filosuf.
Ibnu Rusyd menggambarkan kebangkitan rohani dengan analogi tidur.
Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan
hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan.[7]
4.
Kerasulan Nabi
Banyak filosuf
dan para ulama kalam yang membicarakan masalah kenabian. Pembuktian
kerasulan para ulama kalam menyatakan apabila orang berbicara dan berkehendak
dapat mengutus hamba-hambanya, maka bagi Tuhan juga apabila berbicara dan
beriradah dapat mengutus rasul-Nya. Pembuktian ini adalah melalui jalan qiyas,
namun jalan tersebut hanya bisa membawa kesimpulan yang mungkin saja. Bagi
golongan Asy’ariyah dalam memperkuat qiyas itu adalah bahwa orang yang mengaku
menjadi utusan Tuhan, maka harus menunjukkan benar-benar bahwa ia diutus Tuhan
untuk hamba-hamba-Nya, dan tanda ini dinamakan mu’jizat.
Pembuktian yang seperti itu menurut Ibnu Rusyd hanya bersifat memuaskan
hati, tetapi tidak meyakinkan, namun ia menyadari bahwa pembuktian itu sesuai
dengan kebanyakan orang. Apabila diteliti dengan seksama pembuktian mengandung
berbagai kelemahan. Diantaranya yaitu dari mana kita mengetahui bahwa mu’jizat
yang nampak pada seseorang yang mengaku nabi itu adalah tanda dari Tuhan yang
menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya.[8]
Di sinilah letak daya kreasi
Ibnu Rusyd. Ia, mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengaku dirinya
sebagai nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam
(mukjizat-mukjizat) sebagai tantangan terhadap lawan-lawannya, seperti
mengganti tongkat menjadi ular, membelah laut dan sebagainya. Sebagai bukti,
ketika orang-orang Quraisy dan lawan-lawan Nabi Muhammad SAW meminta tanda
kebenaran kerasulannya, dengan memancarkan sumber air mereka atau menjatuhkan
langit atas mereka, atau ia naik ke langit untuk mengambil kitab yang bisa
mereka baca (Q.S. Al-Isra’ : 93) maka Tuhan menyuruhnya untuk menjawab dengan
kata-kata sebagai berikut : “Maha suci
Tuhan-ku, aku ini tidak lain adalah manusia yang menjadi Rasul”. Seolah-olah
nabi Muhammad SAW hendak mengatakan bahwa hal-hal yang menyimpang dari hukum
alam itu adalah urusan Tuhan semata-mata, sedang aku ini manusia yang tidak
mempunyai kekuasaan untuk itu, dan aku ini, hanya utusan Tuhan semata-mata.[9]
Akan tetapi jika ia tidak mengemukakan sesuatu bukti
atau mukjizat lahiriah tentang kebenaran kerasulannya, maka bukti kerasulannya
itu adalah Al-Qur’an semata-mata yang benar-benar menjadi bahan tantangannya
terhadap orang banyak. Tapi bagaimana kita dapat mengetahui bahwa Al-Qur’an itu
benar-benar mukjizat dan benar-benar menjadi bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW
sedang Ibnu Rusyd sendiri sudah menunjukkan kelemahan cara pembuktian ulama
kalam atas adanya kerasulan dengan mukjizat-mukjizat, terutama kerasulan dari
Tuhan yang pertama sekali.[10]
Menurut Ibnu Rusyd, apabila kita membaca Al-Qur’an dan
memahaminya benar-benar maka akan nampak kepada kita segi penunjukan kepada
sifat kenabian, karena Al-qur’an berisi pengetahuan-pengetahuan gaib yang tidak
di kenal oleh nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu dan susunan serta gaya-bahasanya
tidak sama dengan perbuatan orang Arab seluruhnya.
Mukjizat yang bisa menunjukkan dengan pasti atas
kenabian seseorang nabi haruslah mukjizat yang sesuai dengan segi kerasulannya,
yaitu berisi petunjuk kepada orang banyak dengan syarat yang dibawanya itu,
seperti halnya dengan menyembuhkan penyakit itu menunjukkan adanya sifat
kedokteran bagi seseorang yang mengaku dirinya sebagai dokter.[11]
C.
Hasil Karya Ibn Rusyd
Ibn Rusyd adalah
seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya
terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil
sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada
malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi
berbagai-bagai ilmu, seperti: fiqh, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi,
politik akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah
ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan,
atau keringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles,
maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk
mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah
diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, plotinus,
Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.[12]
Buku-bukunya yang lebih
penting dan yang sampai kepada kita ada empat[13],
yaitu:
1.
Bidayatul-Mujtahid, ilmu fiqh. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi
perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqh dengan menyebutkan alasannya
masing-masing.
2.
Fashul-maqal fi ma baina al-Hikmati
was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu
kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara
filsafat dan syari’at dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman
pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
3.
Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah
(ilmu kalam). Buku ini menguraikan
tentang pendirian aliran-aliran Ilmu Kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan
sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun
1895.
4.
Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat
dari serangan Al-ghazali dalam bukunya Tahafutal-falasifah.
Buku Tahafut at-Tahafut, berkali-kali
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa
inggeris oleh van de berg terbit pada tahun 1952.
Ibn Rusyd terkenal
sebagai seorang filosuf yang menentang Al-Ghazali. Dalam bukunya itu Ibn Rusyd
membela kembali pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan Islam yang telah di
serang habis-habisan oleh Al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles, tentu saja
Ibn Rusyd menolak prinsisp ijraul-adat dari
Al-Ghazali. Dan seperti Al Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum kausal
dari Aristoteles.
Ibn Rusyd banyak
mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab sampai ke tangan kita sekarang
hanya sedikit. Sebagian, buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dan Yunani.
Di antara
karangan-karangannya dalam soal filsafat[14]
adalah:
1.
Tahafutut-Tahafut
2.
Risalah fi Ta’alluqi ‘ilmillahi ‘an
‘Adami Ta’alluqihi bil-juziyat
3.
Tafsiru ma ba’dath-Thabiat
4.
Fashlul-Maqal fi ma Bainal-hikmah
wasy-Syariah Minal-Ittisal
5.
Al-Kasyfu ‘an Manahijil ‘Adilah fi
‘Aqaidi Ahlil Millah
6.
Naqdu Kadhariyat Ibni Sina
‘Anil-Mumkin Lidzatihi wal-Mumkin Lighairihi
7.
Risalah fi-Wujudil-Azali
wal-Wujudil-Muaqqat
8.
Risalah fil-Aqli wal-Ma’quli
[1]
Ahmad Mustofa, Filsafat Islam,(Bandung
: Pustaka Setia, 1997), hal. 284
[9]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1996), hal. 187
[10]
Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat...........hal. 188
[11]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1996), hal. 188
[12]
Ahmad Hanafi, Pengantar.............hal.
165
[13]
Ahmad Hanafi, Pengantar........... hal. 166