Jumat, 04 November 2016


A.    Riwayat Kehidupan Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya adalah Abu Al Wahid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia lahir di kota Cordova (Spanyol) pada tahun 1126 M/520 H,[1] sekitar 5 tahun wafatnya Al-Ghazali. Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan nama Averrois. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalusia dan ia sendiri pada tahun 565 H/ 1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[2]
Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Dengan realitas yang dialami sebagai qadhi, dokter, dan didukung oleh berbagai penguasaan ilmu, seperti matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika, dan filsafat, Ibnu Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang sulit ditandingi. Kehebatannya dapat dilihat dari berbagai karya yang telah ditulis, meskipun di akhir hidupnya, Rusyd mendapat tuduhan besar sehingga ia dibuang dari tanah kelahirannya.[3]
Ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya dibakar, kecuali yang bersifat  ilmu pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, matematika, dan astronomi.
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut dan ia meninggal pada 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.[4]
B.     Pemikiran Ibnu Rusyd
1.      Filsafat dan Agama
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan falsafat tidak ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada ini. Ibnu Rusyd mendasarkan argumennya dengan dalil Al-Qur’an
Firman Allah Qur’an surah Al-Hasyr : 2
“Hendaklah kamu mengambil Ittibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”
Firman Allah Qur’an surah Al-Araf : 185
“Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar) tentang kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang di ciptakan Allah”
Menyuruh manusia berfikir tentang wujud atau alam yang tampak ini dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya Al-Qur’an menyuruh umat manusia berfilsafat, atau mempelajari filsafat bukan dilarang atau diharamkan.[5]
2.      Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Bahkan sebaliknya, menurut para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada justru tidak mempunyai dasar dalam Al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Al-Qur’an
Firman Allah Qur’an surah Al-Fushsilat : 11
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap...”
Allah menciptakan langit dan bumi dalam beberapa periode, menghiasi bumi dengan gunung-gunung dan makanan-makanan, kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit yang masih berupa asap (uap).
Firman Allah Qur’an surah Al-Anbiya : 30
Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian dipecah menjadi dua benda yang berlainan.
Firman Allah Qur’an surah Huud : 7
“Dan dialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air, agar Dia menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
Kandungan ayat itu bagi Ibnu Rusyd bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan tuhan. Pendeknya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air dan tahta.
Dapat diambil kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa pada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak dijadikan oleh Tuhan. Bagi para filsuf muslim, alam itu dikatakan qadim, justru karena alam itu diciptakan Tuhan, yakni diciptakan sejak qidam/azali. Karena diciptakan-Nya sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam tidak sama karena Tuhan adalah qadim yang mencipta, sedangkan alam adalah qadim yang dicipta.[6]
3.      Pengingkaran Kebangkitan Jasmani
Para Filosuf yang mengatakan bahwa di akhirat manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani adalah kafir. Pendapat Al-Ghazali ini didasarkan pada banyaknya ayat Al-Qur’an yang yang jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan jasmani di neraka. Ajaran Al-Qur’an dalam hal ini tidak dapat ditakwilkan.
Dalam membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali itu, Ibnu Rusyd menandaskan bahwa para filosuf tidak menolak kebangkitan, bahkan semua agama samawi mengakui adanya kebangkitan ukhrawi. Hanya saja sebagian berpendapat bahwa kebangkitan tersebut dalam bentuk ruhani dan sebagian lain berpandangan kebangkitan itu dalam bentuk ruhani dan jasmani sekaligus.
Meskipun Ibnu Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam bentuk ruhani saja--menurutnya kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa bukan jasmani, namun ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, dimana ruh-ruh akan menyatu dengan jasadnya sebagaimana keadaannya di dunia, tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia, sebab jasad duniawi telah hancur dan lenyap sehingga mustahil untuk kembali.
Namun sebenarnya, kata Ibnu Rusyd, Al-Ghazali pada akhirnya mengakui bahwa kebangkitan ukhrawi hanya bersifat ruhani saja. Pengakuan ini ia sampaikan dalam bukunya yang bertopik kesufian. Dengan demikian batallah tuduhan pengkafiran kaum filosuf.
Ibnu Rusyd menggambarkan kebangkitan rohani dengan analogi tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan.[7]
4.      Kerasulan Nabi
Banyak filosuf  dan para ulama kalam yang membicarakan masalah kenabian. Pembuktian kerasulan para ulama kalam menyatakan apabila orang berbicara dan berkehendak dapat mengutus hamba-hambanya, maka bagi Tuhan juga apabila berbicara dan beriradah dapat mengutus rasul-Nya. Pembuktian ini adalah melalui jalan qiyas, namun jalan tersebut hanya bisa membawa kesimpulan yang mungkin saja. Bagi golongan Asy’ariyah dalam memperkuat qiyas itu adalah bahwa orang yang mengaku menjadi utusan Tuhan, maka harus menunjukkan benar-benar bahwa ia diutus Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, dan tanda ini dinamakan mu’jizat.
Pembuktian yang seperti itu menurut Ibnu Rusyd hanya bersifat memuaskan hati, tetapi tidak meyakinkan, namun ia menyadari bahwa pembuktian itu sesuai dengan kebanyakan orang. Apabila diteliti dengan seksama pembuktian mengandung berbagai kelemahan. Diantaranya yaitu dari mana kita mengetahui bahwa mu’jizat yang nampak pada seseorang yang mengaku nabi itu adalah tanda dari Tuhan yang menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya.[8]
      Di sinilah letak daya kreasi Ibnu Rusyd. Ia, mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengaku dirinya sebagai nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam (mukjizat-mukjizat) sebagai tantangan terhadap lawan-lawannya, seperti mengganti tongkat menjadi ular, membelah laut dan sebagainya. Sebagai bukti, ketika orang-orang Quraisy dan lawan-lawan Nabi Muhammad SAW meminta tanda kebenaran kerasulannya, dengan memancarkan sumber air mereka atau menjatuhkan langit atas mereka, atau ia naik ke langit untuk mengambil kitab yang bisa mereka baca (Q.S. Al-Isra’ : 93) maka Tuhan menyuruhnya untuk menjawab dengan kata-kata sebagai berikut : “Maha suci Tuhan-ku, aku ini tidak lain adalah manusia yang menjadi Rasul”. Seolah-olah nabi Muhammad SAW hendak mengatakan bahwa hal-hal yang menyimpang dari hukum alam itu adalah urusan Tuhan semata-mata, sedang aku ini manusia yang tidak mempunyai kekuasaan untuk itu, dan aku ini, hanya utusan Tuhan semata-mata.[9]
Akan tetapi jika ia tidak mengemukakan sesuatu bukti atau mukjizat lahiriah tentang kebenaran kerasulannya, maka bukti kerasulannya itu adalah Al-Qur’an semata-mata yang benar-benar menjadi bahan tantangannya terhadap orang banyak. Tapi bagaimana kita dapat mengetahui bahwa Al-Qur’an itu benar-benar mukjizat dan benar-benar menjadi bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW sedang Ibnu Rusyd sendiri sudah menunjukkan kelemahan cara pembuktian ulama kalam atas adanya kerasulan dengan mukjizat-mukjizat, terutama kerasulan dari Tuhan yang pertama sekali.[10]
Menurut Ibnu Rusyd, apabila kita membaca Al-Qur’an dan memahaminya benar-benar maka akan nampak kepada kita segi penunjukan kepada sifat kenabian, karena Al-qur’an berisi pengetahuan-pengetahuan gaib yang tidak di kenal oleh nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu dan susunan serta gaya-bahasanya tidak sama dengan perbuatan orang Arab seluruhnya.
Mukjizat yang bisa menunjukkan dengan pasti atas kenabian seseorang nabi haruslah mukjizat yang sesuai dengan segi kerasulannya, yaitu berisi petunjuk kepada orang banyak dengan syarat yang dibawanya itu, seperti halnya dengan menyembuhkan penyakit itu menunjukkan adanya sifat kedokteran bagi seseorang yang mengaku dirinya sebagai dokter.[11]
C.    Hasil Karya Ibn Rusyd
Ibn Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi berbagai-bagai ilmu, seperti: fiqh, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan, atau keringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.[12]
Buku-bukunya yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat[13], yaitu:
1.      Bidayatul-Mujtahid, ilmu fiqh. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqh dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
2.      Fashul-maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
3.      Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran Ilmu Kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895.
4.      Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dari serangan Al-ghazali dalam bukunya Tahafutal-falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut, berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa inggeris oleh van de berg terbit pada tahun 1952.
Ibn Rusyd terkenal sebagai seorang filosuf yang menentang Al-Ghazali. Dalam bukunya itu Ibn Rusyd membela kembali pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan Islam yang telah di serang habis-habisan oleh Al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles, tentu saja Ibn Rusyd menolak prinsisp ijraul-adat dari Al-Ghazali. Dan seperti Al Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum kausal dari Aristoteles.
Ibn Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit. Sebagian, buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yunani.
Di antara karangan-karangannya dalam soal filsafat[14] adalah:
1.      Tahafutut-Tahafut
2.      Risalah fi Ta’alluqi ‘ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bil-juziyat
3.      Tafsiru ma ba’dath-Thabiat
4.      Fashlul-Maqal fi ma Bainal-hikmah wasy-Syariah Minal-Ittisal
5.      Al-Kasyfu ‘an Manahijil ‘Adilah fi ‘Aqaidi Ahlil Millah
6.      Naqdu Kadhariyat Ibni Sina ‘Anil-Mumkin Lidzatihi wal-Mumkin Lighairihi
7.      Risalah fi-Wujudil-Azali wal-Wujudil-Muaqqat
8.      Risalah fil-Aqli wal-Ma’quli


[1] Ahmad Mustofa, Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka Setia, 1997), hal. 284
[2] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 221.
[3] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 227.

[4] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 224
[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 229
[6] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 229
[7] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 234
[8] Ahmad Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 304

[9] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hal. 187
[10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat...........hal. 188
[11] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hal. 188
[12] Ahmad Hanafi, Pengantar.............hal. 165
[13] Ahmad Hanafi, Pengantar........... hal. 166

[14] Ahmad Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 288

1 komentar: